SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA BATAM

Jumat, 09 November 2012

SUARA AT-TAUBAH “PANDUAN PELAKSANAAN HUKUM DALAM ISLAM”

“PANDUAN PELAKSANAAN HUKUM DALAM ISLAM”
Edisi 010

09 November 2012 / Th. I
24 Dzulhijjah 1433 H
Abu Musa Al Asy’ari RA, adalah seorang dari kalangan sahabat Rasulullah SAW yang menjadi hakim pada masa Khalifah Umar bin Khatab RA. Umar bin Khatab RA pernah mengirim surat  berisi nasehat dan petunjuk bagi Abu Musa dan dibuat Umar sangat terkenal dalam sejarah peradilan Islam, Surat ini dianggap berisi jiwa dan falsafah masalah peradilan, yang menjadi pegangan kaum Muslimin generasi berikutnya.
Isi Surat  tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut ;


Bismillahirrahmaanirrahiim.
Dari hamba Allah Umar bin Khatab, Amirul Mukminin kepada Abdullah bin Qais (nama Abu Musa Al Asy’ary). Salamun’alaika. Ammaba’du.
1.     Sesungguhnya pengadilan itu adalah kewajiban yang dikukuhkan dan sunnah yang harus diikuti. Maka fahamilah bila peradilan dibebankan kepadamu, karena sesungguhnya tiada bermanfaat membicarakan kebenaran tanpa malaksanakannya.
2.     Samakan hak semua orang di hadapanmu, di dalam pengadilanmu dan di dalam majelismu sehingga orang yang terpandang tidak menginginkan kecenderunganmu kepadanya dan orang yang lemah tidak pula putus asa dari keadilanmu.
3.     Pembuktian itu wajib bagi orang yang mendakwa dan sumpah itu wajib bagi orang yang menolak dakwaan. Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
4.     Tidak ada halangan bagimu untuk memeriksa keputusan yang engkau telah putuskan pada hari ini dengan akalmu dan memprtimbangkannya dengan petunjukmu, agar engkau sampai kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu harus dilaksanakan dan kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada berkepanjangan dalam kebathilan.
5.     Pahamilah! Pahamilah apa yang terasa ragu dalam hatimu dari hal-hal yang tidak terdapat di dalam Kitab dan Sunah, kemudian ketahuilah hal-hal yang serupa dan semisal, lalu kiaskanlah perkara-perkara yang engkau hadapi dengannya. Laksanakanlah apa yang paling mendekatkan kepada Allah dan mendekati kebenaran.
6.     Jadikanlah hak orang yang menuduh seolah-olah tiada atau jika berupa bukti berikanlah tenggang waktu yang secukupnya, bila dia mendatangkan buktinya maka berikanlah hak itu kepadanya. Tetapi apabila dia tidak mendatangkan buktinya maka perkara itu berarti engkau anggap halal. Cara seperti ini bertujuan menghilangkan keraguan dan menjelaskan kegelapan.
7.     Kaum Muslimin itu sebanding dengan sebagian yang lain kecuali orang yang didera karena melanggar Had atau orang yang dikenal kesaksian palsunya atau orang yang dicurigai karena adanya hubungan erat atau nasab (genetis). Sesungguhnya Allah mengurusi urusan batinmu dan membuktikan dengan bukti-bukti dan sumpah-sumpah.
8.     Jauhilah olehmu kecemasan, ketidaksabaran, menyakiti lawan dan terombang-ambing dalam permusuhan, karena kebenaran yang dilaksanakan pada tempatnya itu termasuk perbuatan yang dibesarkan oleh Allah pahalanya dan dibaikkan  simpanannya. Barang siapa yang benar niatnya dan menghadapi hawa nafsunya, maka urusannya yang ada diantara dia dengan manusia akan dicukupi oleh Allah Swt. Dan barang siapa  yang berpura-pura kepada manusia  dengan perbuatan yang diketahui oleh Allah Swt, padahal dia sebenarnya tidak demikian, maka Allah Swt akan membuka aibnya. Bagaimana pandapatmu tentang balasan dari orang  dibandingkan dengan kesegeraan rizki Allah ‘Azza wa Jalla.

Potensi Penyimapang Dimasa Awal
                        Surat khalifah Umar bin Khatab RA tersebut menggambarkan betapa berat tugas peradilan itu dan betapa tindakkan-tindakan yang menyimpang selalu menghantui disetiap saat pada siapa saja yang berhubungan dengan perkara hukum, kecuali oleh orang-orang yang benar-benar dilindungi oleh Allah Swt. Meskipun surat Khalifah Umar  berisi arahan namun tergambar di dalamnya beberapa model  penyimpangan yang mungkin ditemui  oleh orang yang berkecimpung dalam bidang peradilan, antara lain :
1.     Penyimpangan Paradigma bahwa hukum itu tidak berorientasi kepada kitab Allah Swt dan kebenaran yang terkandung  di dalamnya. Peradilan bukanlah sebuah wahana kepandaian merangkai kata mengeluarkan argumen, memainkan saksi atau barang bukti,  tetapi peradilan harus bertumpu kepada komitmen kepada Allah Swt dan kebenaran yang dilaksanakan.
 Allah Swt berfirman :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang berkhianat. Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha pengampun dan maha penyayang.”  (QS. An-Nisaa [4 } : 105)

Kalifah Umar bin Khatab menyatakan dalam suratnya bahwa tidak bermanfaat membicarakan  kebenaran tanpa melaksanakannya. Peradilan menurut pandangan islam, tidaklah  sekadar berdimensi duniawi tetapi juga ukhrawi karena pada dasarnya peradilan yang hakiki adalah peradilan di hadapan Allah Swt.
Peradilan manusia bisa saja memenangkan orang yang bersalah atau sebaliknya, dan dipandang sah di hadapan manusia, tetapi pengadilan Allah Swt di akhirat nanti akan mendudukan kebenaran yang hakiki.
Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda :
Sesungguhnya aku adalah manusia, sedang kamu datang kepadaku untuk menyelesaikan persengketaan di antara kamu. Mungkin kamu lebih pintar menyampaikan hujjahnya daripada sebagian yang lain, lalu aku  memutuskan baginya sesuai dengan apa yang aku dengar darinya. Maka barang siapa yang aku putuskan baginya sebagian hak dari saudaranya, hendaklah dia tidak mengambilnya karena sesungguhnya aku potongkan baginya sepotong dari api neraka.”        (HR. Bukhari dan Muslim)
2.     Bersikap tidak adil kepada rakyat karena peradilan berpihak kepada pihak yang dianggap lebih kuat dan terhormat. Khalifah Umar bin Khatab  juga memperingatkan Abu Musa agar jangan sampai terjadi orang-orang lemah merasa putus asa memperoleh keadilan dari para hakim. Kisah yang sangat terkenal dalam hal ini adalah kasus yang menimpa sahabat  muda Raslullah Saw yang bernama Usamah bin Zaid RA.
Suatu ketika ada seorang perempuan dari satu suku yang tertangkap dan terbukti melakukan pencurian sehingga harus dihukum. Kemudian orang-orang dari suku itu mendatangi salah seorang Sahabat  Rasulullah Saw, yakni Usamah bin Zaid. Mereka memohon agar ia memintakan keringanan hukuman bagi wanita itu kepada Rasulullah Saw dan sahabat besar yang berjuang sejak permulaan dakwah islam. Ketika Usamah menyampaikan pesan dari suku tersebut, Rasulullah Saw sangat murka dan terlontar ucapannya yang sangat terkenal dalam sejarah, “Demi Allah, kalaupun Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
3.     Peradilan menjadi ajang bagi upaya memfitnah seseorang secara legal formal sehingga Khalifah Umar bin Khatab RA menyatakan bahwa pembuktian itu wajib bagi orang yang mendakwa karena pada dasarnya seseorang itu tidak bersalah sebelum ada bukti yang kuat. Rasulullah Saw bersabda :
Seandainya manusia diberi kebebasan berdasarkan dakwaan mereka, tentulah banyak orang yang mendakwakan darah orang dan hartanya.  Akan tetapi orang yang didakwa itu harus bersumpah.”  (HR. Muslim dan Ahmad)
Keyakinan seseorang saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan orang lain. Dalam sebuah peperangan, Usamah bin Zaid pernah dilaporkan membunuh seorang musuh yang telah bersyahadat. Rasulullah Saw kemudian memanggil Usamah dan meminta pertanggungjawaban pemuda itu. Jawaban Usamah “Wahai Rasulullah, dia itu bersyahadat hanya berpura pura saja karena telah kalah bertarung  denganku” Rasulullah berkata, “Apa telah engkau belah dadanya dan membuktikan hal itu?”
4.     Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian sehingga peradilan memutuskan perkara secara serampangan dan menjauhi kebenaran. Pada dasarnya ada beberapa pihak yang tidak boleh memutuskan perkara, diantaranya adalah hakim yang berada dalam suasana marah, kedua, hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak memutuskan dengan kebenaran itu dan ketiga, adalah hakim yang tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan sebagai seorang hakim.
 Rasulullah Saw  bersabda :
Janganlah sekali-kali seorang hakim mengadili urusan antara dua orang, sementara dia sedang dalam keadaan marah.”  
(HR Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda :“….Sedangkan orang yang mengetahui kebenaran  akan tetapi dia menyimpang dari kebenaran itu di dalam memutuskan perkara, maka dia itu di dalam  neraka. Dan orang yang memutuskan perkara manusia tidak berdasarkan pengetahuan, maka dia itu di  dalam neraka.(HR Abu daud, At-Tirmizy, An-Nasaaiy, Ibnu Majah dan Alhakim).
5.    Terjebak dalam permainan kotor dalam system peradilan. Misalnya dengan adanya saksi-saksi yang mempunyai hubungan dekat dan dikhawatirkan bersikap subyektif, saksi-saksi palsu yang memberikan kesaksian bohong atau bahkan menyesatkan. Hakim-hakim yang tidak jeli atas hal ini atau bahkan ikut terlibat dalam mendatangkan para saksi palsu tentulah hakim yang celaka.
Hakim yang terkenal jeli dan menjaga sisi obyektivitas adalah Syuraih yang sangat terkenal kisahnya dalam perkara baju besi yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Tahlib RA.
                        Suatu ketika  Khalifah Ali kehilangan baju besi nya, ia yakin yang mencurinya adalah seseorang yang kebetulan beragama Yahudi. Kemudian ia mengadukan perkara itu kepada Syuraih.  Dalam pengadilan orang Yahudi itu tetap ngotot mengkui bahwa baju besi itu miliknya. Maka Syuraih meminta Ali untuk mendatangkan saksi untuk memperkuat tuntutannya dan beliau kemudian mendatangkan Qanbur dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syuraih menerima kesaksian Qanbur yang merupakan maula (bekas pembantu) Ali. Sedangkan kesaksian Hasan bin Ali ditolaknya. Kesaksian anak atas bapaknya menurut Syuraih tidak dapat diterima.
Khalifah Ali bin Abi Thalib marah dan berkata, “bila demikian, kematian lebih baik bagimu dari pada kamu menambah keburukan. Tidakkah engkau mendengar Umar bin Khatab berkata bahwa telah bersabda Rasulullah Saw, “Al-Hasan dan Al-Husen adalah raja  dari pemuda ahli surga?”
Syuraih menjawab tenang “Ya, mudah-mudahan demikian” Ali bertanya lagi “Apakah engkau tidak memperkenankan kesaksian dari seorang raja dari pemuda ahli surga?” Syuraih tidak menjawab dan berkata kepada si Yahudi, “Ambilah baju besi itu”
Akhirnya Khalifah Ali bin Abi Thalib rela dengan keputusan tersebut karena  bahwa saksi yang dibawanya lemah dari sisi hukum. Melihat proses tersebut si Yahudi sangat terpersona dan kemudian menyatakan masuk Islam, seraya menyerahkan baju besi yang dicurinya. Tetapi Khalifah Ali bin Abi Thalib  menghadiahkan baju besi itu Kepadanya.
(Edisi 010. ZD Lubis)

SUSUNAN REDAKSI 
Pelindung                : Sutrisman, Bc.IP, SH 
Ketua                     : Maulana Lutfianto Amd IP SH. 
Wakil Ketua           : David Anderson Amd IP SH.
 Bendahara              : Masrialdi 
Team Redaksi : Eddy Junaedi, ZD Lubis, Ridwan M. Thayib 
 Editor                     : Heri Fadrianto M. Ag 
 Alamat : Jl. Trans Tembesi – Barelang B A T A M Kepulauan Riau. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

BERITA NASIONAL TERBARU