SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA BATAM

Jumat, 12 Oktober 2012

SUARA AT-TAUBAH "Pentingnya Perubahan Diri Dalam kehidupan”

“PENTINGNYA PERUBAHAN DIRI DALAM KEHIDUPAN”



Edisi 006

12 Oktober 2012 / Th. I
26 Dzulqaidah 1433 H



Allah Berfirman ;
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan  yang ada pada diri mereka sendiri”  (QS. Ar-Ra’d [13] : 11)

Banyak orang yang sulit sekali untuk berubah, kenikmatan dan kemapanan telah membutakan mata hatinya, teguran dari Allah Swt, tidak dihiraukan.
Misalnya artis Roy Martien mungkin salah atu contohnya, Pengalaman pahit hidup di penjara selama hampir satu tahun tak membuat ia jera, penyesalan hanya terucap dimulut. Dihati sesungguhnya ia mengingkarinya. Ia mengulangi kesalahan yang sama, jatuh ke dengan kasus yang sama.

Mengapa orang sulit sekali berubah, hijrah dari kebiasaan buruk kepada kebiasaan baik? Mengapa orang gampang sekali terperosok ke dalam lubang yang sama? Mengapa harus jatuh korban dahulu baru mata hati kita terbuka?. Padahal, hijrah yang kita lakukan tak menuntut pengorbanan yang terlalu besar, seperti yang dialami oleh Rasulullah Saw, dan para sahabat. Dulu, ketika Rasulullah SAW dan para sahabat hijrah dari Makkah ke Madinah, harta dan tahta harus ditinggalkan. Istri harus terpisah dari suaminya. Anak tercerai dari orang tuanya. Bahaya tak sedikit yang mengancam di perjalanan. Pergi meninggalkan rumah dengan mengendap-endap di tengah kegelapan. Menembus padang pasir yang begitu luas. Anak panah bisa saja sekonyong-konyong melesat mengakhiri kehidupan.
Kini, hijrah Cuma persoalan kemauan. Niatkan dengan setulus hati bahwa kita hendak berubah menjadi lebih baik karena Allah Swt. Tinggalkan perbuatan dosa dan maksiat. Jagalah pergaulan dari lingkungan yang rusak, dan beribadah baik dalam keadaan sulit maupun senang. Nah, apalagi yang kita tunggu? Segeralah hijrah sebelum terlambat!! Penyesalan selalu datang terakhir. Jangan sampai kita baru menyadari setelah Allah Swt menegur kita dengan cobaan yang amat berat untuk kita pikul, atau maut keburu menjemput kita.


Berubah Adalah Pilihan

Perubahan dalam konsep Islam, bukanlah hasil kerja yang tidak alamiah dan bebas dari ikatan apa pun. Akan tetapi, perubahan itu merupakan hasil dari kondisi-kondisi alamiah yang sudah ditetapkan kadarnya oleh Allah Swt (qudrah). Dalam batas-batas tertentu berupa sunatullah, yang dapat ditundukkan di bawah kehendak manusia. Oleh karena itu, dalam pandangan islam, manusia adalah pencipta perubahan, sementara Allah swt yang membuat  hukum-hukum  perubahan itu dalam kehidupan.
Allah Swt telah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi, ( lihat Edisi 001 dan 002 ) Tugasnya memakmurkan bumi. Untuk menjalankan tugas tersebut, Allah Swt membekali manusia dengan kebebasan berkehendak dan kesadaran dalam menentukan pilihan. Otoritas inilah yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan mahkamah Ilahi. Disaat manusia  mengembalikan mandat ke khalifahannya kepada Allah Swt. Sebagai makhluk yang memiliki otoritas dan kebebasan menentukan pilihan, manusia dapat melakukan perubahan ke arah yang dikehendaki. Tapi, Pokok persoalannya bukan terletak pada mereka mampu atau tidak untuk berubah, tapi perubahan tersebut mau mengarah ke mana. Penderitaan atau kebahagiaan? Dalam Alqur’an banyak di dapati ayat-ayat tentang keburukan yang dikaitkan langsung dengan kehendak manusia, seperti di bawah ini Allah Swt Berfirman :
“Kerusakan telah tampak di darat dan di laut karena perbuatan tangan-tangan manusia, yang akhirnya Allah membuat mereka merasakan (balasan dari) sebagian yang mereka kerjakan, supaya  mereka kembali  (ke jalan yang benar)  (QS. Ar-Ruum [30] : 41)

Menurut ayat di atas, manusialah (kita) yang menciptakan penderitaan sendiri, dengan cara menghadirkan berbagai penyebab dalam kehidupannya. “Penderitaan merupakan hasil dari perbuatan sadar manusia. Baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama”. Demikian pula tentang keberuntungan dan kebahagiaan. Manusialah yang menciptakannya atas diri mereka sendiri.
Jadi idealnya perubahan yang dilakukan manusia tidak boleh asal-asalan. Setiap perubahan yang dilakukan harus diarahkan pada perbaikan untuk kesempurnaan, karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah untuk cenderung pada kesempurnaan. Perubahan menuju perbaikan dan kesempurnaan itulah yang dalam Islam desebut  “Hijrah” .

Hijrah menurut Makaniyah dan Maknawiyah.

Konsep hijrah sendiri secara normatif sebenarnya mengacu pada momentum historis dalam sejarah Rasulullah Saw ketika beliau dan para sahabanya melakukan perpindahan dari   ke Yatsrib (Madinah) pada tahun 622 M. Perpindahan yang lebih dari sekadar tempat tinggal, melainkan juga perpindahan Ideologi dan pola hidup itu, sebelumnya pernah juga  dialami kaum Muslimin ketika itu, Yaitu saat berhijrah dari Makkah ke Habasyah pada tahun 615 M dan tahun 617 M. Hijrah inilah yang disebut sebagai hijrah makaniyah (tempat), yang tak akan pernah terjadi lagi sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang disampaikan Aisyah RA berikut :
“Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Makkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah. (HR Bukhari, Muslim)
Mengenai hijrah makaniyah tersebut, dalam Alqur’an banyak menyinggungnya dalam sejumlah ayat  seperti:
“sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah (kaum Muhajirin) dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kaum Anshar), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. (QS. Al-Anfaal [18] : 72)

Meskipun hijrah makaniyah  itu dinyatakan sudah tertutup, bukan berarti konsep hijrah tidak punya fungsi lagi. Sebab, Rasulullah Saw pernah menyatakan bahwa hijrah juga berlaku secara maknawiyah, yaitu hijrah, “dalam ruang lingkup transformasi nilai”.
Berikut ini sejumlah aspek yang menjadi muatan hijrah secara maknawiyah berdasarkan penjelasan kata hijrah dari Alqur’an dan Sunnah:

1.       Meninggalkan Perbuatan dosa dan maksiat.
Rasulullah Saw bersabda:
“Muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti Muslim dengan lidah dan tangannya. Dan muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan semua apa yang Allah telah larang. (HR. Bukhari dalam sahihnya Kitabul Iman Bab IV, hadis No 10). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya juga mengisyaratkan hijrah secara maknawiyah  berupa meninggalkan dosa, yakni ;
“Dan berbuat dosa, tinggalkanlah  (QS. Al-Mudasir {74} : 5)

2.          Menjaga Pergaulan dari Lingkungan yang Rusak
Hijrah secara Maknawiyah juga berarti menghindarkan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Allah Swt berfirman
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka (orang kafir) ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
(QS. Al-Muzammil [73] : 10)

3.          Beribadah kepada  Allah Swt  saat  Sulit dan Penuh Fitnah.
Rasulullah Saw bersabda :
“Beribadah pada saat masa kharj (artinya adalah; situasi sulit dan penuh fitnah) adalah seperti hijrah kepadaku. (HR. Sahih Muslim,no 2948.)
Pada saat fitnah merajalela seperti sekarang ini, ketika orang-orang bercampur baur, wanita tidak menutupi auratnya, kejahatan disiarkan di internet, televisi dan radio, musik, alkohol dan hukum kufur yang tersebar luas, orang baik dikatakan jahat, dan orang-orang yang rusak (seperti penyanyi, aktor, selebriti) dipuji. Beribadah kepada Allah Swt pada saat ini adalah  hijrah kepada nabi Muhammad  Saw.

4.          Menyuburkan Berbagai Prestasi Hidup (ilmu, teknologi, budaya, dll)  Dalam  Rangka Membangun Peradaban Islam.
Hijrah bukan semata-mata berlaku secara normatif, yaitu perubahan dari buruk menjadi baik, tapi juga pencapaian keberasilan dalam berbagai bidang kehidupan, baik harta, ilmu, kekuasaan (khalifah yang baik) dll. Berkaitan dengan momentum hijrah ini Allah  Swt mendorong kaum Muslim untuk mencapai kemenangan dalam berbagai dimensi tersebut,  Allah Swt brfirman :
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tingi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah [9} : 24)
Imam AthThabrani menafsirkan “orang yang mendapat kemenagan” (al-faizuun) sebagai orang yang sukses (azh-Zhafirun) dalam berbagai kebaikan (bilk hair). Kebaikan itu sendiri dalam Alqur’an maknanya mencakup banyak hal, baik harta, ilmu, kekuasaan, keluarga, dan lain-lain. Maka al-faizun itu di dalam Alqur’an disepadankan dengan al-muflihuun (orang-orang yang berhasil/beruntung. Yaitu duniawi dan ukhrawi.
Kebahagiaan duniawi mencakup umur panjang, kekayaan dan kemulyaan. Sedangkan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan.

 Terus Berhijrah
Dengan Hijrah, secara maknawiyah setiap Muslim didorong untuk selalu melakukan Evaluasi dan Introspeksi diri, apakah jika hari ini lebih baik dari hari sebelumnya, berarti beruntung, dan jika sama saja, berarti merugi, sedangkan orang lebih jelek dari hari kemaren, berarti bangkrut.
Karena itu motto Orang beriman adalah “ tiada hari tanpa perubahan” dalam arti yang positif. “Setiap hari adalah perbaikan, Setiap waktu adalah penyempurnaan”, dengan motto seperti itu insya Allah  seorang Muslim tidak akan mati kecuali dalam keadaan Husnul Khatimah.. untuk mencapai derajat ini posesnya tidak boleh diabaikan, sesuaikan sunatullah, semua harus melalui perubahan dan peningkatan untuk lebih baik. Wallahu’alam bis-shawab
(Edisi 006.  ZD Lubis)

SUSUNAN REDAKSI 
Pelindung                : Sutrisman, Bc.IP, SH 
Ketua                     : Maulana Lutfianto Amd IP SH. 
Wakil Ketua           : David Anderson Amd IP SH.
 Bendahara              : Masrialdi 
Team Redaksi : Eddy Junaedi, ZD Lubis, Ridwan M. Thayib 
 Editor                     : Heri Fadrianto M. Ag 
 Alamat : Jl. Trans Tembesi – Barelang B A T A M Kepulauan Riau.  








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

BERITA NASIONAL TERBARU