SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA BATAM

Jumat, 27 Mei 2016

Di LP Barelang, Satu Sipir Harus Mengawasi 300 Narapidana

Suasana Lapas Barelang di Batam, Kepulauan Riau (Foto: kris mada)

Batam – Setiap penjaga di Lembaga Pemasyarakatan Barelang di Batam, Kepulauan Riau, harus mengawasi hingga 325 orang narapidana. Kondisi itu salah satu dampak kelebihan kapasitas yang setara 300 persen daya tampung asli penjara itu.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Barelang Farhan Hidayat mengatakan, penghuni LP Barelang tercatat 1.366 orang. Padahal, LP itu dirancang untuk dihuni 450 orang saja.
“Untuk setiap giliran jaga, hanya ada enam petugas,” ujarnya, Jumat (27/5), di Batam, Kepulauan Riau.
Setiap regu penjaga terdiri dari seorang komandan regu yang bertugas di depan. Seorang pengawas menjaga di blok wanita yang dihuni 60 orang. Sisa empat penjaga lain bertugas di blok pria yang dihuni rata-rata 1.300 orang sejak beberapa bulan terakhir.
“Hingga 70 persen merupakan terpidana kasus narkotika,” ujarnya.
Petugas jaga tidak bisa ditambah karena memang tidak ada tenaga lain. Direktorat Jenderal Pemasyarakat termasuk yang terkena moratorium penambahan pegawai.
“Rasio guru dengan murid saja dianggap sudah berlebih jika setiap guru mengajar lebih dari 40 murid. Di LP dan rutan, rasionya bisa dalam hitungan ratusan,” ujarnya.
Kondisi itu yang memicu kecemasan Farhan selama bertahun-tahun. Dengan petugas amat minim, tidak mudah mengendalikan situasi jika ada keributan.
“Kejadian di beberapa LP juga kurang lebih sama, jumlah petugas amat tidak seimbang dibanding warga binaan. Saya selalu khawatir telepon berdering atau ada yang mengetuk pintu di malam hari. Jangan-jangan ada apa-apa di LP,” tuturnya.
Salah seorang bawahan Farhan, Ustad, malah mengatakan tidak pernah tenang menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Seperti Farhan, ia juga khawatir ada kericuhan dalam LP.
Salah satu pemicu keresahan yang berujung pada kericuhan di LP adalah persoalan remisi. Setiap hari besar nasional dan keagamaan, memang ada peluang napi mendapatkan remisi.
“Tetapi, warga binaan beberapa jenis tindak pidana, termasuk korupsi dan narapidana, sering tidak bisa mendapat remisi,” ujarnya.
Remisi menjadi salah satu insentif napi untuk berkelakuan baik selama dihukum. Bila tahu tidak ada peluang mendapat remisi, mereka akan kehilangan motivasi untuk berkelakuan baik. Akibatnya, mereka bisa memancing kericuhan dalam penjara.
Peraturan remisi
Farhan mengatakan, salah satu pemicu kondisi itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan masih berlaku.
PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur mengenai pemberian remisi terhadap narapidana. Napi untuk kasus-kasus pidana khusus tidak mendapatkan remisi atau pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana.
Kasus narkotika, lanjut Farhan, memang mencemaskan dan berdampak luar biasa buruk. Namun, sebagian besar napi narkotika justru pengguna dan pedagang narkotika kelas teri.
Penangkapan mereka tidak berdampak signifikan untuk menekan peredaran narkotika. Hal itu terbukti dengan terus terungkapnya sindikat narkotika beromzet miliar rupiah.
Selain PP 99/2012, ada pula aturan yang menyebut tidak bisa ada remisi dan pembebasan bersyarat sebelum denda dibayar. Sebagian napi narkotika yang sebenarnya pengguna dan pengedar kecil itu dikenai denda melebihi penghasilan mereka seumur hidup.
“Mereka akhirnya memilih menjalani hukuman subsider berupa kurungan sekian bulan dibanding membayar denda miliaran rupiah,” kata dia.(kris/farid)
Sumber : KOMPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

BERITA NASIONAL TERBARU